Showing posts with label Short Stories. Show all posts
Showing posts with label Short Stories. Show all posts

Thursday, April 11, 2019

[ 3 ] Short Stories: Penantian

April 11, 2019 0 Comments
[ 3 ] Short Stories: Penantian
Source: Pinterest.com

Dekorasi pernikahan klasik adat Jawa kraton Jogjakarta memanjakan kedua mataku yang memang menyukai budaya Jawa. Dengan diiringi suara gamelan menjadi terasa berada di setiap acara kraton.
Beberapa minggu yang lalu, di rumah kedatangan kartu undangan pernikahan dari Anton, adik sepupu dari keluarga Ayah, ternyata dia akan mendahuluiku untuk menikah. Sudah takdir Anton akan menikah duluan dan aku masih sendiri tanpa suami maupun pacar. Aku hanya bisa memanjatkan doaku pada Sang Khalik untuk di pertemukan seorang pria yang memang dia adalah belahan jiwaku, tanpa harus merasakan pacaran seperti Abangku yang memiliki mantan pacar seabrek.
Di pernikahan Anton hanya aku dan Ayah yang hadir. Mas Bambang mendapat giliran menjaga ibu yang sakit di rumah selama kami pergi. Kepergianku ke Jogjakarta menjadi tempat aku untuk berlibur untuk melepas penat masalah yang berada di rumah dan jauh dari hiruk pikuk Kota Jakarta. Terkadang aku berharap aku bisa tinggal di Jogjakarta dari pada di Jakarta.
Aku melihat Ayah sedang berkumpul dengan adik-adiknya di dekat meja berisikan makanan ringan. Berhubung di dalam ruangan ini banyak sekali makanan, aku memandang berkeliling mencari makanan ringan yang ingin sekali kumakan sebelum ke makanan berat. Wah... ada bakso, pikirku. aku langsung melangkahkan kakiku ke area meja kecil yang bertuliskan bakso.
Setelah mengantre cukup panjang, akhirnya aku mendapatkan semangkuk bakso di tanganku. Sambil berjalan aku menyuapi bakso ke dalam mulutku. Sambalnya kurang nendang nih, pikirku. Saat berjalan, aku tidak sengaja menabrak tubuh seseorang sehingga kuah dari mangkok bakso terciprat ke baju batik.
“Aduhh... Maaf mas, saya tidak sengaja,” ucapku melihat wajah yang kutabrak. Tanganku yang memegang tisu mencoba untuk membersihkannya. “sebentar ya mas, saya ambilkan tisu lagi,” tisu yang berada di tanganku sudah tak berbentuk.
“Tari,” ucap pria berbaju batik dengan badan yang tinggi.
Di saat melangkahkan kaki, pria itu sepertinya memanggil namaku sehingga aku memandang kembali wajah pria itu, “Hah?” dengan wajah tanda tanya.
“Kamu Tari kan?”
“Iya, siapa ya?” aku mengerutkan kedua alisku untuk mencoba mengingat siapa pria yang berada di depanku.
“Kamu enggak ingat saya?”
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengingat siapa pria di depanku walaupun aku berusaha menggali ingatan di dalam kepala tapi nihil.
“Saya Halim, kita pernah satu sekolah dasar di Jakarta.”
“Maaf ya, saya tidak ingat sama sekali,” ucapku dengan rasa bersalah, “Kamu masih ingat saja, padahal itu sudah lama sekali.”
“Kamu kenal dengan salah satu mempelai?”
“Iya, yang mempelai prianya adik sepupu saya. Kamu?”
“Waah... kebetulan banget ya, saya juga kenal sama Anton. Kami satu fakultas di kampus. Sekarang tinggal di Jogja?”
Aku teringat bahwa Anton baru saja lulus pascasarjana dan sudah menjadi dosen di universitas di Jogjakarta.
“Tidak, saya masih tinggal di Jakarta. Karena Anton menikah saja saya ada di sini. Kamu sendiri ke sini?”
“Enggak, saya sama teman,” Halim menunjukkan jarinya ke arah temannya yang sedang membuat lingkaran dan mengobrol.
Saat sedang melihat temannya Halim terdengar suara Ayah dari arah sampingku, “Tari.”
“Ya Ayah, ada apa?”
“Teman kamu, Tari?” tanya Ayah.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ayah, suara halim sudah mendahuluiku.
“Saya Halim Om, teman Tari sewaktu sekolah dasar,” Halim mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Ayah.
“Oh... kamu juga teman dari pengantin?”
“Iya Om, saya kenal sama Anton.”
“Wah... dunia ternyata kecil sekali ya. Ya sudah kalian lanjuti obrolan kalian. Tari, Ayah sama Om dan Tante kamu di sana,” Ayah menunjukkan jari ke arah meja yang di khususkan untuk keluarga pengantin.
“Iya, Yah.”
“Mari nak Halim.”
“Iya Om.”
Setelah kepergian Ayah, aku melihat teman-teman Halim menengok ke arah kami, “sepertinya mereka mencari kamu,” ucapku sambil menunjuk ke arah teman-teman Halim.
Halim memberikan tanda dengan jari tangannya untuk memberinya waktu kepada temannya. Dan aku melihat temannya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ke arah Halim.
“Mereka mau foto sama Anton. Saya minta nomor telepon kamu boleh?”
“Boleh kok, sebentar,” tanganku yang kosong membuka tas tangan.
“Kamu enggak ingat nomor telepon kamu?”
“Enggak,” jawabku sambil mencari HP di dalam tas tangan. Setelah mendapatkan apa yang aku cari. Sebelum mencari nomor telepon yang tidak aku hafal sama sekali suara Halim sudah mencegahku.
“Coba sini HP kamu.”
Tanpa rasa curiga sedikit pada halim, aku langsung menyerahkan HP ke tangannya. Sambil menunggu Halim mengetikkan nomornya dan melakukan misscall ke HP miliknya.
“Nih,” Halim mengembalikan HP ke arahku, ”nanti saya hubungi kamu ya.”
Setelah memberikan HP ku kembali, Halim berpamitan untuk kumpul bersama dengan teman-temannya yang sudah memberikan kodenya pada Halim untuk mengambil foto sama Anton. Aku berjalan dengan mangkuk kosong ke arah meja kecil untuk diletakkan.
Aku tidak terlalu di ambil pusing karena tidak mengingat Halim pada waktu sekolah dasar dulu. Karena setelah lulus, aku memang memilih sekolah yang dekat dengan rumah sehingga aku berpisah dengan teman-temanku semasa sekolah dasar. Pada saat ingin meletakkan mangkuk bakso, terlintas gambaran di mana seseorang menuliskan sesuatu di buku kecil milikku karena tahu aku tidak akan satu sekolah dengannya. Apa mungkin dia? pikirku.

***

Pernikahan Anton telah selesai, Ayah masih tinggal beberapa hari di Jogja sehabis itu akan pergi ke Pekalongan untuk mengunjungi rumah masa kecilnya. Aku juga sudah meminta ijin untuk tinggal lebih lama di sini karena aku ingin sekali mencicipi kuliner yang ada di sini dan Fauzan menawarkan dirinya untuk mengantarku ke mana saja yang aku inginkan selama di Jogja.
Semenjak pertemuanku dengan Halim di pernikahan Anton, kami selalu bertukar kabar. Halim sering mengajakku jalan, tapi aku selalu mengajak Fauzan untuk ikut menemaniku karena aku masih belum mengenal benar dengan Halim. Untungnya tanpa aku memberi penjelasan, Halim mengerti dengan kehadiran Fauzan di setiap kali kami pergi.
“Kamu belum pernah pacaran? Suka sama cowok?” tanyanya dengan muka tidak percaya setelah aku mengatakan belum pernah berpacaran sepanjang usiaku.
“Suka pernah, tapi pacaran enggak pernah,” jawabku seadanya, “Memangnya kenapa?”
“Enggak, ini pertama kalinya aku bertemu seperti kamu.”
“Ah... masa, ada kali yang seperti aku yang memang tidak berpacaran.”
“Benaran, cuman kamu. Lalu kenapa kamu tidak mencarinya?”
Aku menghela nafas sebentar sebelum menjawab pertanyaan Halim, “di umurku yang sekarang bukan lagi mainannya pacaran, tapi sudah harus mencari calon suami.”
“Lalu sudah dapat calon suaminya.”
Aku melirik sekilas ke arah Halim malas untuk menjawab pertanyaannya.
“Kenapa?” tanya Halim.
“Enggak, belum waktunya saja aku di pertemukan sama jodoh aku.” jawabku sambil tersenyum.
Setelah mendengarkan apa yang aku utarakan, Halim tidak lagi membahasnya. Aku tidak mau berharap terlalu banyak dengan keberadaan Halim di dalam hidupku. Dia sudah sangat baik mengajak aku berkeliling Jogjakarta dan mengantar ke tempat-tempat yang ingin sekali aku datangi. Di tambah lagi, belum tentu dia akan menerima kekurangan yang ada di dalam keluargaku dan di dalam diriku, aku takut melihat reaksinya setelah mengetahui bila ibuku sakit jiwa, dia akan menjauhiku.
“Lalu kamu sendiri kenapa masih sendiri?” tanyaku.
“Sama sepertimu, aku sedang mencari calon istri.”
Aku terkaget mendengarnya, “Oh... sudah dapat calonnya?”
“Sudah, tapi belum tahu apa dia mau atau tidak.”
“Loh... Kok begitu?” tanyaku dengan alis tertekuk heran, “kamu tidak mengutarakannya?”
Halim tersenyum, “Ini sudah aku utarakan.”
“Hah? Maksudnya?”
Halim tertawa melihat wajahku yang kebingungan, “Iya kamu, kamu mau? Tidak usah terburu-buru untuk menjawabnya.”
Aku terdiam, masih di liputi rasa kejut yang di berikan oleh Halim bahwa akulah gadis yang dimaksud untuk dijadikannya sebagai istri. Aku melihat wajah Halim yang masih memasang senyuman di sana dengan kedua bola matanya menatapku.
Pembicaraanku dengan Halim masih saja terbawa sampai di rumah Tante Asli. Apa benar dia jodohku yang selama ini aku minta pada Sang Khalik, pikirku. Perasaan ragu dan lega mengisi relung di hatiku. Aku teringat dengan pesan Ayah untuk selalu meminta petunjuk pada Sang Khalik jika aku sedang gelisah atau bingung untuk menentukan pilihan hidup.
Seperti malam-malam sebelumnya, Halim selalu menghubungiku untuk mengobrol. Tapi setelah mengetahui maksud dan tujuan Halim kepadaku membuat jantungku berdetak tidak karuan. Aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya kepada Halim tapi yang ada aku malah gugup.

Aku tidak bisa tidur semalaman masih memikirkan jawaban yang akan aku berikan pada Halim. Walaupun aku sudah meminta petunjuk pada Sang Khalik tapi masih belum menemukan jawabannya. Mungkin aku harus menceritakan kondisi keluargaku pada Halim dan melihat reaksinya, setelah itu aku bisa memberikan jawabannya.
“Tari, temanmu sudah datang itu di depan, lagi mengobrol sama Ayahmu,” Tante Asli memberitahuku.
“Pagi sekali dia datang, setahuku kita jalan agak siang,” ucapku sambil membantu memasak di dapur.
“Sudah temui dulu teman kamu, ajak sarapan di sini.”
Pisau yang berada di tanganku letakkan di samping talenan.
“Tari, buat minum dulu,” ucap Tante Ali yang menghentikanku untuk berjalan ke luar dapur.
Tante Ali membantuku membuat teh hangat untuk di bawa ke ruang tamu. Saat berjalan melewati ruang tengah, aku melihat Fauzan sudah bangun dan menaik turunkan kedua alisnya, menggodaku. Suara Ayah dan Halim hampir kedengaran di ruang tengah. Ngobroli apa sih, kok mereka seru banget, pikirku. Memasuki ruang tamu, aku melihat Ayah yang asyik sekali mengobrol dengan Halim di tambah Om Taufan ikutan nimbrung duduk di kursi tunggal.
Aku berjalan mendekat, “ini di minum dulu,” tanganku meletakkan cangkir teh di atas meja tamu.
“Karena Tari sudah datang saya tinggal dulu.”
“Iya Om.”
Ayah dan Om Taufan meninggalkanku berdua dengan Halim di ruang tamu. “Kok datangnya pagi, bukannya kita baru jalan siang ya?” tanyaku.
“Aku mau mengajak kamu sarapan di luar.”
“Duh... Tante Asli malah minta kamu sarapan di sini. Kamu enggak bilang sih semalam kalau mau sarapan di luar.”
Aku lihat Halim menggarukkan belakang kepalanya tanda bingung.
“Sarapan di sini saja dulu ya, baru besok sarapan di luar, bagaimana?” tanyaku.
“Ya sudah,” Halim menganggukkan kepalanya, “nanti jadi ke pantai?” tanyanya, melihatku.
“Jadi, kamu tahu pantai Wediombo? Aku lihat di internet pantainya bagus dan belum ada yang banyak tahu. Selain air lautnya yang jernih, aku lihat di foto yang air lautnya terkena batu besar jadi terlihat seperti air terjun jatuh ke kolam di balik batu besar,” terangku dengan bersemangat.
Halim mendengarkan dengan saksama tanpa memotong pembicaraanku.
“Terus, katanya—“ ucapku terhenti, “kok kamu memandangku begitu, di mukaku ada sesuatu ya?”
“Hah? Enggak ada apa-apa kok di mukamu,” Halim tersenyum. “Kamu enggak pernah cerita kalau ibumu sakit.”
“Dari mana kamu tahu soal itu?” tanyaku.
“Dari Ayahmu, beliau cerita banyak soal penyakit ibumu.”
“Aku hanya takut melihat reaksimu setelah mendengar kondisi ibuku,” aku menundukkan kepala. Aku tidak mendengar suara Halim, apa dia akan menjauhiku? Ya Allah bila memang dia jodohku dekatkan kami jika bukan jodohku jauhkan, pikirku.
“Tari,” panggilnya, “di saat aku mengutarakan keinginanku menjadikanmu sebagai calon istriku, aku sudah yakin bahwa kamu adalah jodohku yang telah disiapkan oleh Allah untukku. Aku akan menerima semua kekurangan keluargamu dan kekurangan yang ada pada kamu.”
Aku mengangkat kepalaku untuk memandang wajah Halim. Tidak bisa mengucapkan sepatah kata untuk di keluarkan dari mulutku, mendengar bahwa Halim yakin bahwa aku adalah jodohnya. Semua keraguan yang hinggap di hatiku dari kemarin sirna sudah. Tidak terasa air mata telah keluar dari kedua mataku, sambil menangkupkan kedua telapak tanganku di bawah mata untuk menghalau air mata untuk keluar lebih deras lagi.
“Kita hadapi bersama-sama ya,” ucap Halim dengan senyum hangat.



Thursday, January 31, 2019

[ 2 ] Short Stories: My Beautiful Country

January 31, 2019 0 Comments

Sangat indahnya negeriku ini, tenteram, damai, dan bersahabat. Pemandangannya juga tidak kalah menakjubkan di bandingkan dari negara-negara lain. Penduduk di negeri ini sejak dahulu saling bahu membahu menolong yang sedang terkena musibah atau kesulitan. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur telah lahir di negeri ini. Ayah dan Ibu selalu mengajariku budaya yang harus kami jaga walaupun budaya luar kerap masuk ke dalam negeri ini.
Kami sekeluarga sering sekali bepergian ke luar kota mengunjungi kota-kota dan desa-desa lain di negeri ini. Dari sana, aku dan adikku mengenal budaya lain di kota yang kami kunjungi. Kami banyak sekali belajar tentang budaya, bahasa, dan tata krama yang  ada di sana, dari sana aku mengetahui bagaimana kayanya negeriku ini. Semenjak itu, aku selalu mempelajari seluruh budaya yang ada di negeriku.
Sampai pemilihan pemimpin negeri ini telah tiba, berbagai macam perbedaan pendapat dan cara pandang telah membentuk menjadi dua pihak di antara penduduk negeri ini untuk mendukung masing-masing calon pemimpin yang akan mereka pilih. Kedua calon pemimpin memiliki cara pandang yang sama untuk memajukan negeri ini tapi salah satu calon pemimpin memiliki maksud tertentu setelah menjadi pemimpin negeri ini.
Tanpa melihat akibat apa yang akan terjadi di masa depan, pendukung dari kedua pihak calon pemimpin melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dukungan dari penduduk negeri ini, baik dengan cara kotor maupun baik. Salah satunya dengan menyebarkan berita palsu ke seluruh penjuru negeri dengan melalui media sosial. Aku yang belum mengerti apa-apa yang kedua pihak itu lakukan hanya bisa menjadi penonton, sampai terbesit sejarah negeri ini terbentuk.
“Ayah, kenapa mereka harus berebut menjadi pemimpin negeri ini? Kenapa tidak mendiskusikan bersama dan membangun negeri ini bersama-sama seperti dulu,” tanyaku saat aku menonton perdebatan mereka di televisi.
“hmm... sayang, negeri ini sudah tidak sama seperti zaman kemerdekaan dulu. Dulu semua golongan saling bahu membahu untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah. Zaman sekarang, kita harus mempertahankan apa yang sudah di raih oleh pendahulu kita dan mewujudkan cita-cita yang terkubur, yaitu menjadi negeri yang sejahtera, damai, dan di segani oleh dunia. Untuk meraih itu tidaklah mudah, kamu sudah lihat bagaimana kayanya negeri ini. Banyak negara-negara lain ingin memiliki negeri ini walaupun itu dengan cara kotor yaitu menjadikan pemimpin negeri yang mereka pilih menjadi boneka dan memenuhi apa yang mereka inginkan dari negeri ini.”
“Kenapa negeri lain tidak membiarkan negeri ini memiliki apa yang kita punya, kenapa harus mengambil milik orang lain?”
“itulah manusia Nak, mereka serakah hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat penderitaan di sekelilingnya. Sama seperti negeri mereka, mengambil apa yang negeri ini punya untuk memenuhi kebutuhan penduduk di negerinya tanpa melihat bahwa negeri ini bisa saja sengsara,” terang ayah, “kamu masih kecil sudah berpikiran jauh saja.”
“Eits... jangan salah ayah, Ririn sudah 15 tahun.”
“Memangnya kamu mau jadi pemimpin negeri ini, Nak?”
“Kalau Allah mengizinkan, aku ingin memimpin negeri ini dan membangunnya menjadi sejahtera.”

***

Di depan perapian, aku teringat dengan perbincanganku dengan Ayah. Sayangnya sebelum itu semua terjadi negeriku sudah hancur karena ulah mereka. Setelah salah satu calon pemimpin terpilih menjadi pemimpin negeri ini, mereka dari pihak yang kalah tidak menerima atas kekalahan mereka. Sehingga dari pihak yang kalah menyusun rencana untuk menggulingkan dan mengambil paksa alih kepemimpinan negeri ini.
Dengan keegoisan dan arogansi, mereka seakan-akan menutup mata bahwa penduduk negeri ini sudah ikhlas dan dengan suka cita menyambut pemimpin baru negeri ini dan mendoakan pemimpin baru dapat membangun dan membawa negeri ini menjadi damai sejahtera.
Mereka yang kalah menggunakan cara-cara kotor yang tidak kami sukai sama sekali, tapi dari kebanyakan penduduk negeri kami malah termakan cara kotor dari mereka. Entah kenapa mereka yang kalah tidak mau ikhlas menerima kekalahan mereka tanpa harus mengganggu dan memecah belah kami. Padahal kekalahan mereka mungkin sudah takdir Allah untuk menjadi kalah.
“Kak, adek lapar?”
“Sabar ya dek, sebentar lagi ayah sama ibu pulang dengan membawa banyak makanan,” ucapku dengan nada lembut.
Aku memandang sendu ke arah adik terkecilku yang harus merasakan penderitaan ini. Aku memiliki sepasang adik, tapi adikku yang kedua telah tiada setelah perpecahan itu terjadi. Saat itu, kami sedang terkena musibah, tempat Ayah bekerja mengalami kebangkrutan dan pemutusan kontrak kerja untuk menjaga perusahaan tetap beroperasi. Ayah menjadi salah satu pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan tempat Ayah bekerja, padahal Ayah sudah bekerja dan menggeluti di bidangnya selama bertahun-tahun.
Saat itu adikku, Lisa, sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah. Ibu yang saat itu sedang mengandung adikku memiliki firasat buruk dan menyuruhku untuk mencari Lisa. Aku yang tidak menggubris kecemasan Ibu menganggapnya angin lalu, aku hanya memintanya untuk menelepon ponselnya untuk mengurangi rasa cemasnya. Tapi berkali-kali Ibu menelepon ponsel Lisa tidak ada yang mengangkatnya.
Saat itu juga aku langsung pergi mencari Lisa setelah Ibu berkata ponsel Lisa tidak di angkat dan memintaku untuk mencarinya. Di perjalanan yang biasa Lisa lewati setiap berangkat maupun pulang, di jalan itu banyak orang-orang yang sedang saling teriak mencaci maki dari mereka yang kalah dan mereka yang menang. Sampai entah di mana, orang-orang yang mendukung mereka melakukan adu jotos. Di antara mereka yang tidak menerima mulai mengambil benda-benda yang berada di sekitar mereka untuk membalas apa yang sudah mereka lakukan terhadap teman mereka.
Aku melihat Lisa yang berdiri tidak jauh dari sana sangat ketakutan sekali apa yang di lihatnya di depan matanya. Dengan cepat aku berlari menghampirinya, tapi saat sudah dekat dengannya aku melihat sebuah benda panjang menghantam cukup keras tubuh mungilnya. Dengan keadaan terkejut apa yang terjadi di depan mataku, aku menghampiri tubuh mungil adikku dalam keadaan tidak sadarkan diri di jalan.
Berkali-kali aku berteriak meminta tolong, tapi apa yang aku dapatkan, mereka tidak menggubris teriakanku dan mereka hanya terus saja melakukan aksi kekerasan untuk membalaskan perbuatan mereka satu sama lain. Dengan ketakutan dan kepanikan di dalam diriku, aku berusaha menggendong tubuh adikku menjauh dari sana dan membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku malah mendapatkan kabar lebih buruk, Lisa dinyatakan telah meninggal oleh dokter yang berada di unit gawar darurat. Dengan umur Lisa yang masih muda membuat saraf terpenting di bagian punggung terkoyak.
“Kak, kok bengong,” ucap Ayah.
Aku tersadar setelah merasakan sentuhan jari tangan Ayah di pundak.
“Kamu kenapa? Di panggil berkali-kali malah bengong.”
“Ke ingat dulu Yah,” ucapku setelah tersadar sepenuhnya, “Ibu mana?”
“Sudah jangan di ingat lagi apa yang sudah terjadi, itu semua sudah kehendak Allah kalau Lisa tidak bisa bersama kita sekarang. Ibu di dapur bersama Roni, sana kamu juga bantu Ibumu.”
Aku menganggukkan kepala lalu bangkit berdiri.
“Ririn, jangan dendam terhadap mereka,” ucap Ayah saat aku akan berjalan ke arah dapur.
“Iya Yah,” ucapku dan melanjutkan berjalan ke dapur untuk membantu Ibu.
Aku masih bingung apa yang akan Ayah lakukan sekarang dengan kondisi negara yang sudah hancur, perang saudara ini telah menghancurkan segalanya. Bangunan-bangunan yang dulunya berdiri kokoh telah hancur, keceriaan di wajah setiap anak-anak yang senang bermain sudah sirna, kelaparan di sana-sini.
Setelah pernyataan perang dari kedua kubu, Ayah membawa kami keluar dari kota dan mengharapkan desa tempat tinggal nenek tidak berimbas dari keegoisan mereka tapi setelah sampai di desa tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kota. Sehingga Ayah dan Ibu mengambil keputusan untuk membawa kami tinggal di pedalaman hutan dekat dengan perbatasan negara.
Ayah membangun sebuah gubuk kecil dari bahan-bahan yang di dapat di dalam hutan. Setiap malam tiba, kami akan saling berdekatan di depan perapian yang Ayah untuk menghalau dinginnya malam. Makanan yang kami dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, tak terkadang juga Ayah dan Ibu akan pergi ke desa maupun ke kota untuk menambah suplai penyimpanan makanan kami dan juga mencari informasi kondisi sekarang.
“Ibu, hari ini kita makan apa?” tanyaku setelah sampai di dapur.
“Hari ini kita makan sama seperti kemarin, Ayah dan Ibu tidak banyak membawa suplai makanan untuk kita.”
“Ibu aku tidak mau makanan itu, tidak ada rasanya sama sekali,” Rengek Roni.
“Sabar ya Nak, nanti ibu akan bikin kan kamu makanan yang enak buat kamu,” ucap ibu dengan lembut.
“Dari dulu ibu selalu mengucapkan itu melulu, di suruh sabar, nanti Ibu akan memasakkan makanan enak, KAPAN BU?” ucap Roni dengan nada kesal.
“RONI! jangan seperti itu sama Ibu,” bentakku.
Sambil menangis, Roni berlari pergi dari dapur. Aku yang ingin mengejar Roni untuk menjelaskan kondisi yang sedang di hadapi.
“Ririn biarkan Ayahmu yang menenangkan Roni,” Ibu mencegahku, “kamu bantu Ibu memasak ya.”
“Baik Bu.”
“Rin, apa Ayah sudah memberitahumu?” tanya Ibu.
“Belum Bu, memang Ayah mau memberitahu tentang apa.”
“Hmmm... biar Ayahmu yang akan menjelaskannya.”
Aku ke pikiran apa yang akan disampaikan Ayah pada kami, aku berharap yang di sampaikan Ayah merupakan kabar baik bagi kita semua. Aku sudah jenuh dengan keadaan sekarang yang terus saja semakin memburuk. Terakhir yang aku dengar dari Ayah, banyak penduduk negeri ini memilih pindah ke negara lain dari pada tinggal di sini yang tidak memiliki harapan sama sekali.
Setiap jam, setiap menit, aku selalu berdoa pada Maha Pencipta Alam Semesta untuk menyadarkan mereka semua bahwa negeri yang seharusnya di bangun bersama-sama telah hancur karena keegoisan dan keambisiusan mereka yang mementingkan apa yang mereka maui bukan apa yang penduduk negeri ini inginkan, kedamaian.
“Rin, coba kamu lihat Ayahmu dan Roni sedang apa dan bilang makanannya sudah siap,” ucap Ibu yang sedang mengangkat panci kecil dan membawanya ke tempat biasa kami makan secara lesehan.
Setelah aku meletakkan piring dan sendok, aku meninggalkan Ibu sendiri di dapur. Aku mendengar Ayah sedang menjelaskan kondisi negara kami sekarang dan meminta Roni untuk meminta maaf pada Ibu.
“Ayah, kata Ibu makanannya sudah siap,” ucapku.
“Ayo kita makan,” ajak Ayah lalu berjalan meninggalkan kami berdua.
“Kak,” panggil Roni.
“Kenapa dek?”
“Maafin Roni ya Kak,” ucapnya di sampingku.
“Iya, kamu juga harus minta maaf sama Ibu.”
“Iya Kak.”
Lalu kami berdua berjalan ke arah dapur, di sana Ayah dan Ibu sudah duduk di bawah menunggu kami untuk makan bersama. Aku duduk di samping Ayah sedangkan Roni duduk di samping Ibu. Tanpa mengeluh, aku menyendokkan sup ke dalam mulut, makanan inilah yang selama bertahun-tahun masuk ke dalam perutku setelah perang saudara pecah di negeri ini terjadi. Terkadang aku harus menahan lapar untuk mengalah pada Roni yang masih masa pertumbuhan.
“Anak-anak, Ayah sama Ibu berpikiran, kita harus mengungsi dari negeri ini. Kita tidak tahu kapan perang ini akan selesai. Ayah juga sudah mendapatkan negara yang akan menerima kita sebagai pengungsi,” jelas Ayah setelah semua selesai makan.
Seketika otakku tidak dapat berpikir setelah mendengar perkataan Ayah. Meninggalkan tempat kelahiranku, rumahku, dan cita-citaku di sini, “Ayah, apa tidak ada jalan lain selain meninggalkan negeri ini? Ririn tidak mau pergi dari sini, ini tempat kelahiranku.”
“Tidak ada sayang, Ayahmu juga sama sepertimu tidak mau meninggalkan negeri ini, tapi kamu dan Rino membutuhkan tempat yang aman,” jelas Ibu, “Kita pindah untuk sementara, setelah peperangan di sini sudah berhenti, kita kembali lagi ke sini,” Ibu mengusap puncak kepala Rino dengan sayang.
“Tapi Bu
“Ririn,” potong Ayah, “Ayah mendapatkan kabar dari teman, perang ini belum berakhir Nak. Ayah menginginkan kamu melihat dunia yang lebih luas lagi dan setelah peperangan di sini berakhir, kamu bisa membantu mereka untuk membangun negeri ini kembali dari bawah,” terang Ayah.
Aku tidak bisa berkata-kata apa yang sudah Ayah ucapkan pada kami semua selesai makan. Ayah mengatakan seminggu dari sekarang kita semua akan berjalan ke pintu perbatasan yang tidak jauh dari gubuk kami. Ayah telah mengurus semuanya apa yang kami perlukan di saat perbatasan.
Menjelang keberangkatan kami semua, rasa sedih mulai terasa di relung hatiku. Aku tidak menyangka akan meninggalkan tempat kelahiranku, banyaknya kenangan sedih dan bahagia di sini. Aku bisa saja tetap tinggal di sini, tapi dengan umurku yang akan beranjak dewasa dan kehidupanku yang masih panjang untuk melihat luasnya dunia untuk  meraih cita-citaku. Aku pastikan akan kembali lagi ke negeriku ini, tempat kelahiran dan kenangan-kenangan bahagia yang berada di sini.


Saturday, December 15, 2018

[1] Short Stories: "My friend Farida"

December 15, 2018 0 Comments
Image Pinterest

My Friend Farida

Karena pekerjaan Ayahku, kami sekeluarga harus pindah ke kota Birmingham, United Kingdom. Rumah dinas yang kami tinggali tidak sebesar rumah kami di Indonesia, cukup sederhana dan berdempetan dengan rumah tetangga kiri dan kanan. Aku bersyukur Ibu mendapatkan teman tetangga yang baik. Setiap Ibu keluar rumah mereka selalu mengobrol.
Sudah dua bulan sejak kepindahanku ke sini dan bersekolah di salah satu sekolah swasta di kota ini. Di sekolah baru, aku tidak memiliki banyak teman seperti di Indonesia karena kebanyakan dari mereka berteman secara berkelompok dan aku tidak menyukai itu. Kelompok yang paling terkenal di sekolah adalah kelompoknya Marien dan Thomas. Mungkin karena mereka berdua adalah anak gaul dan memiliki paras yang cantik dan tampan.
Mr. Charles, guru Sejarah memasuki ruang kelas. Membuat anak-anak yang tadinya berisik menjadi diam seketika.
“Morning! Everyone,” sapa Mr. Charles sambil meletakkan tas selempangnya dan buku di atas meja, “kalian akan mendapatkan teman baru hari ini, masuklah,” ucap Mr. Charles.
Aku yang duduk bangku tengah langsung menengok ke arah pintu, di sana masuklah seorang gadis berkerudung. Dengan mengenakan tas punggung, gadis itu memperkenalkan dirinya bernama Farida dan asal dia berada di depan kelas.
“Wah... Kita kedatangan teroris di kelas,” ucap Marien dengan lantang.
Semua yang berada di kelas langsung berisik. Ada yang berteriak untuk menyuruhnya pulang ke negaranya. Aku memandang tidak percaya apa yang mereka lakukan terhadap Farida.
“Cukup!” Mr. Charles memukul mejanya untuk membuat murid-muridnya berhenti bicara, “Marien nanti kamu ke ruangan saya,” ucap Mr. Charles dengan tegas, “Farida kamu silakan duduk di bangku yang kosong,”
Farida berjalan dengan diam ke arah belakang.
“Kate! Hati-hati sama teroris itu,” teriak Marien.
Aku melihat Kate memajukan bangku dan mejanya ke depan menjauhi meja Farida. Aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan melihat tingkah tidak bersahabatnya mereka terhadap Farida. Sangat kebalikan sekali dengan teman-temanku di Indonesia, mereka sangat senang dengan kedatangan murid baru.
Aku jadi teringat dengan pertama kalinya aku datang ke kelas ini, mereka akan menilaiku dari bawah ke atas layaknya juri apa menerimaku di kalangan mereka atau tidak. Tidak jarang mereka mendatangiku dengan wajah ramah tapi ujung-ujungnya hanya menggangguku. Beruntungnya mereka saat itu aku sedang berada di mood yang baik jadi aku menganggapnya seperti anak kecil yang merengek meminta sesuatu kepada ibunya.
Suara bel berakhir, pelajaran Mr. Charles berbunyi. Semua anak-anak dari kelas berbondong-bondong membereskan buku pelajaran mereka dan berebut keluar kelas. Begitu juga denganku yang ingin ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam. Saat ingin melangkah meninggalkan bangku, kedua mataku melihat beberapa pengikut Marien mengelilingi meja Farida.
“Astri!” panggil Berta.
Aku menengokkan kepalaku sebentar ke arah Berta yang sudah berdiri di dekan pintu keluar, “Iya, sebentar,” ucapku. Karena penasaran aku mengalihkan pandangan dari Berta ke arah meja Farida.
“Ayo Astri, jangan ikut campur dengan mereka,” Berta menarik lenganku keluar kelas, “sepertinya mereka akan melakukannya kembali,” ucap Berta sambil lalu.
“Apa yang akan mereka lakukan?” tanyaku.
“Kamu akan melihatnya sendiri nanti. Bagi mereka itu sudah seperti hiburan,” jelas Berta.
Berta adalah teman pertamaku semenjak pindah ke sekolah ini. Dengan wajah berparas Asia dan sebuah kacamata bulat bertengger di hidungnya. Ayah Berta merupakan penduduk asli sini yang menikah dengan Ibunya asal Jepang. Berta yang sudah lama tinggal di sini sering mengajakku jalan mengelilingi kota Birmingham, memberitahu tempat-tempat untuk hangout maupun untuk membeli barang-barang dengan harga yang murah.
“Kita makan di taman saja ya?” ajak Berta.
“Boleh, tapi kita ke kantin sebentar ya beli Sandwich.”

***

Di dalam perpustakaan, “Miss, aku mau mengembalikan ini,” tanganku menyerahkan sebuah buku tentang kebudayaan ke atas meja, “kamu mau ke mana?” tanyaku kepada Berta.
“Aku mau meminjam buku kalkulus,” ucap Berta dan meninggalkanku sendiri.
Beberapa menit kemudian, “ini kartu anggotanya,” ucap penjaga perpustakaan.
“Terima kasih Miss,” sambil tersenyum, tanganku mengambil kartu anggota yang sudah terletak di atas meja.
Aku membalikkan badan mencari keberadaan Berta yang belum terlihat. Daripada aku menunggu di depan meja terlalu lama, aku memutuskan mencari keberadaan Berta. Aku tidak menemukan Berta di setiap kali aku berjalan di tiap rak buku, sampai bagian paling belakang aku melihat punggung Berta sedang menghadap ke luar jendela.
“Berta, kamu lama sekali,” ucapku setelah mendekat, “apa yang sedang kamu lihat,” tubuhku berdiri di samping tubuhnya melihat beberapa anak-anak sedang melempar-lempar tas dari pemilik yang berkerudung.
“Mereka melakukannya lagi,” ucap Berta dengan pelan.
“Astaga,” aku melihat salah satu anak cowok mendorong tubuh berkerudung itu sampai jatuh ke tanah, “apa mereka selalu seperti itu?” tanyaku.
“Ya, kamu ingat perkataanku pada pertama kali kita berkenalan untuk tidak berurusan dengan mereka.”
Aku menganggukkan kepala.
“Beberapa ada yang sampai pindah sekolah karena mereka.”
“Kenapa mereka melakukan itu?”
“Mungkin untuk mereka sebagai hiburan atau mereka tidak menyukai pendatang baru, aku tidak tahu.”
Aku merasa heran dengan kelompok mereka, apa yang sedang di carinya dengan mengganggu Farida. Aku merasa kasihan dengan Farida di hari pertamanya sekolah sudah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
“Apa guru di sini tidak ada menegur mereka?”
“Sudah, pihak sekolah sampai memanggil kedua orang tua mereka ke sekolah tapi seperti yang kamu lihat sekarang. Mereka tidak peduli dengan teguran tersebut,” terang Berta, “ayo kita makan siang, keburu bel masuk kelas berbunyi,” ajak Berta.
Aku bergumam menandakan persetujuan Berta. Sebelum meninggalkan jendela kaca perpustakaan, kedua mataku masih mengamati apa yang di lakukan kelompok Marien terhadap Farida.
Kami berjalan di lorong sekolah menuju taman belakang sekolah, tempat biasa kami akan menyantap makan siang. Sambil berbicara tentang tugas yang di berikan oleh guru, tentang artis idola kami dan lain-lain. Tidak hanya kami yang berada di taman belakang sekolah, banyak murid-murid yang menghabiskan waktu jam makan siang di sana. Ada yang bermain lempar bola atau tempat untuk mengerjakan tugas kelompok selain di perpustakaan.
Saat sedang enak menyenderkan punggung ke belakang dan memandang langit biru, dari sudut mata aku melihat Farida berjalan sendirian dengan pakaian sedikit kotor. Mereka yang berada di taman belakang sekolah mulai berbisik-bisik tentang Farida. Aku menyapu sekeliling taman, sebagian mereka memandang kasihan, sebagian mereka tertawa kecil, sebagian mereka seperti menyuruhnya pindah ke tempat lain.
Karena tidak suka apa yang mereka perbuat, aku berjalan menghampiri Farida, “Assalamualaikum Farida, aku Astri bergabunglah denganku untuk makan siang di sana.”
“waalaikumsalam,” balas Farida dan mulai tersenyum menerima ajakanku.
Kami berjalan bersama ke tempat Berta berada. Mereka yang berada di taman mulai kembali berbisik-bisik tentang apa yang sudah kulakukan dan sapaan yang kugunakan. Dari sudut mataku, Farida merasa risi tapi aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
“Hiraukan mereka, nanti juga akan berhenti sendiri,” ucapku sambil berjalan.
“Salam itu... Apa kamu muslim?”
“Ya, aku dari Indonesia. Aku dan keluarga pindah ke sini karena pekerjaan Ayah.”
Kedatangan kami di bangku taman di sambut senyuman canggung yang di berikan berta kepada Farida. Aku langsung mendudukkan diriku di tengah bangku dan mempersilahkan Farida untuk duduk di sampingku.
Kepalaku tengokkan ke Berta, “kenapa senyummu seperti itu?” tanyaku pada Berta.
“Aku tidak mau terkena masalah dengan Marien dan pengikutnya.”
“Halah...,” dengusku, “Farida, perkenalkan ini Berta. Berta ini Farida,” kataku.
Sambil memakan makanan, aku melihat Berta sudah mulai terbiasa tidak seperti sebelumnya. Malahan Berta yang lebih banyak bertanya pada Farida. Kami mengetahui bahwa Farida pindah dari negara konflik, rumahnya sudah hancur terkena ledakan bom. Ayahnya memutuskan membawa seluruh keluarganya untuk pindah sementara ke negeri ini daripada bertahan di sana tapi nyawa yang menjadi taruhannya.
Aku yang masih mendengarkan cerita dari Farida, memerhatikan yang berada di taman seketika hening tidak berisik seperti tadi. Kutengokkan kepalaku ke arah pintu taman sekolah. Di sana, Marien beserta pengikutnya berjalan melewati pintu taman. Mataku mengikuti Marien berjalan mendekati kami. Suara Berta dan Farida mendadak berhenti setelah melihat Marien berdiri di depan kami.
“Well.... Well... ternyata ada kumpulan teroris,” ucap Marien.
Aku tidak menggubris apa yang di ucapkan Marien tapi dari sudut mataku, aku melihat Berta menundukkan kepalanya ke bawah dan tubuh tegang Farida.
“Hai Marien,” sapaku dengan ramah.
“Kamu jadi satu komplotan dengan dia,” ucap Marien sambil menunjuk ke arah Farida.
“Ada perlu apa?” ucapku tanpa terganggu dengan ucapannya. Aku merasakan lengan tanganku di pegang oleh Berta, “pergilah Berta, aku tidak apa-apa di sini,” ucapku pada Berta.
“Ehh... mau ke mana?” ucap salah satu pengikutnya menghalangi jalan Berta.
“Biarkan dia pergi, dia harus menelepon Ibunya untuk mencari kabar kerabatnya di rumah sakit,” bohongku.
Aku memandang Marien dengan senyum di wajahku untuk meyakinkan dia memang Berta harus pergi untuk menghubungi keluarganya. Setelah menunggu, Marien memberikan kode untuk melepaskan Berta pergi dari sini. Aku melihat Berta berjalan dengan cepat memasuki gedung sekolah dengan sesekali menengok ke belakang melihatku.
Dengan santainya aku menyenderkan punggungku ke belakang bangku, aku tahu bahwa aku dan Farida sudah di kelilingi oleh pengikut Marien. Tapi aku tidak akan takut dengan mereka. Sambil melihat ke arah Marien, aku berpikir dengan cepat bagaimana aku dan Farida bisa terlepas dari Marien.
Suara pekikan dari Farida membuatku menengok ke arah belakangnya, “Hei!” hardikku dengan wajah marah ke arah belakang Farida, “jadi ada apa?” ucapku ramah menengok ke wajah Marien.
“Aku ada perlu dengan teroris ini.”
“Dia punya nama Marien, namanya Farida bukan teroris,” ucapku ramah.
“teroris tetap teroris.”
“Hadeehh... cewek gendeng. Orang punya nama juga,” ucapku pelan dengan bahasa Indonesia sambil membuang muka ke samping.
“Apa?” ucap Marien dengan alis di tekuk, “apa yang kamu ucapkan?” tanya Marien.
“Kamu cantik,” ucapku asal.
“Aku tahu bukan itu, cepat katakan apa yang kamu ucapkan tadi,” desak Marien.
“Terserah,” ucapku santai, “aku masih ada perlu sama Farida, jadi nanti saja.”
“Aku but...”
“Ada apa ini?” ucap Thomas memotong ucapan Marien.
Di sana, Thomas telah berdiri di balik punggung Marien dengan beberapa sahabatnya yang memandang penasaran ke arah kami.
“Astri,” ucap Thomas sambil menerobos masuk ke dalam lingkaran.
“Woaahh... ada apa ini?” ucap salah satu sahabatnya.
“Thomas,” sapa Marien dengan suara senang, “Thom, aku ada perlu dengan teroris ini tapi dia menghalanginya,” adu Marien yang sudah berdiri di samping Thomas.
Aku bangkit dari duduk, “Marien namanya Farida bukan teroris,” ingatiku pada Marien sambil menggeleng-gelengkan kepala, “sepertinya otaknya sudah mengecil,” ucapku pada diriku sendiri dengan bahasa Indonesia.
“Heh! Apa yang sudah kamu ucapkan tadi,” bentak Marien.
“Nothing.”
“Enggak mungkin! Cepat katakan?”
“Kamu cantik,” ucapku asal.
Aku tahu Thomas dan teman-temannya sedang memerhatikan perdebatan kami. Karena aku sedang malas untuk berdebat dengan Marien, aku hanya menjawab asal apa yang dia pertanyakan dari apa yang kuucapkan. Di tambah lagi berada di tengah lingkaran yang di perhatikan banyak orang makin tambah malas meladeni tingkah Marien.
“Farida kita pergi dari sini,” ucapku sambil menengok ke arah Farida yang menundukkan kepalanya.
“Hah?” ucapnya kaget sambil menengok ke arahku.
“Ayo...”
Saat aku ingin menarik tangan Farida untuk mengikuti langkahku, suara Thomas menghentikanku.
“Tunggu sebentar,” Thomas mengangkat tangannya menghalangiku dan Farida untuk jalan.
“Ada apa, Thomas?” tanyaku.
“Tolong jelaskan ada apa?” tanya Thomas.
Aku menghela nafas pelan. Otakku berpikir apa harus menceritakan apa yang sudah di lakukan Marien pada Farida. Aku tidak begitu mengenal Thomas secara dekat, apa lagi jalan pikirannya setelah mendengarkan apa yang aku ceritakan. Tapi aku tidak boleh menilainya dari paras Thomas yang cakep itu, berdoa saja semoga jalan pemikiran Thomas sebanding dengan parasnya yang cakep.
“Aku kenalkan temanku Farida,” ucapku sambil menengok ke arah Farida, “seperti yang kamu dengar tadi, Marien memanggilnya apa. Sebelum ini, Marien dan teman-temannya sudah mengganggu temanku, Farida. Aku hanya heran dengan jalan pemikiran Marien yang sangat sempit itu. Hanya karena dia berhijab dan berwajah timur tengah lalu kalian mencap dia adalah teroris. Hanya karena orang yang mengebom negara kalian beragama Islam lalu kalian mencap dia adalah teroris. Farida bukanlah mereka yang kalian sebut teroris itu. Farida adalah Farida. Kalian harus mengenalnya lebih dekat sebelum kalian memberi label sebagai teroris atau tidak,” ucapku dengan nada tenang.
Aku melihat Thomas tidak bisa berkata apa-apa. Marien yang ingin membalas perkataanku di bungkam oleh tatapan galak dari Thomas.
“Thomas, tolong bilang pada temanmu itu,” tunjukku ke sebelahnya, “jangan pernah mengganggu Farida lagi. Atau dia akan berurusan denganku atau dengan guru sekalipun,” ucapku.
Sambil menggandeng tangan Farida, kami menerobos keluar dari lingkaran kelompok Marian den Thomas, tapi sebelum jauh aku berhenti dan membalikkan badannya ke belakang, “oh iya, yang perlu kalian tahu aku beragama yang sama dengan Farida dan aku di ajarkan untuk berbuat baik pada siapa pun walaupun dia seorang mantan teroris akan aku rangkul dengan tanganku.”
Kamu meneruskan berjalan, aku bisa mendengar ucapan protes yang di lakukan oleh Marien dan pengikutnya. Aku dan Farida melewati pintu taman untuk masuk ke gedung sekolah.
“Astri, terima kasih,” ucap Farida.
“Ya sama-sama, lebih baik kita masuk ke kelas sekarang,”
Dari jauh, Berta berjalan cepat ke arah kami dengan seorang guru di belakangnya. Mereka menghampiri kami, guru yang berada di belakangnya kepada kami berdua apa yang sudah terjadi. Aku menjelaskan apa yang sudah terjadi, tidak lupa mengatakan bahwa mereka masih berada di taman belakang sekolah bersama Thomas.
Setelah hari itu, Marien sudah tidak pernah lagi mengganggu kami. Entah apa yang di lakukan Thomas sampai Marien berhenti untuk mengganggu kami. Setiap kami berpapasan di koridor sekolah, Marien hanya melewati kami. Aku juga mendengar pada hari itu, Marien bersama dengan pengikutnya di bawa ke ruang kepala sekolah.

Follow Us @soratemplates