Thursday, April 11, 2019

# Short Stories

[ 3 ] Short Stories: Penantian

[ 3 ] Short Stories: Penantian
Source: Pinterest.com

Dekorasi pernikahan klasik adat Jawa kraton Jogjakarta memanjakan kedua mataku yang memang menyukai budaya Jawa. Dengan diiringi suara gamelan menjadi terasa berada di setiap acara kraton.
Beberapa minggu yang lalu, di rumah kedatangan kartu undangan pernikahan dari Anton, adik sepupu dari keluarga Ayah, ternyata dia akan mendahuluiku untuk menikah. Sudah takdir Anton akan menikah duluan dan aku masih sendiri tanpa suami maupun pacar. Aku hanya bisa memanjatkan doaku pada Sang Khalik untuk di pertemukan seorang pria yang memang dia adalah belahan jiwaku, tanpa harus merasakan pacaran seperti Abangku yang memiliki mantan pacar seabrek.
Di pernikahan Anton hanya aku dan Ayah yang hadir. Mas Bambang mendapat giliran menjaga ibu yang sakit di rumah selama kami pergi. Kepergianku ke Jogjakarta menjadi tempat aku untuk berlibur untuk melepas penat masalah yang berada di rumah dan jauh dari hiruk pikuk Kota Jakarta. Terkadang aku berharap aku bisa tinggal di Jogjakarta dari pada di Jakarta.
Aku melihat Ayah sedang berkumpul dengan adik-adiknya di dekat meja berisikan makanan ringan. Berhubung di dalam ruangan ini banyak sekali makanan, aku memandang berkeliling mencari makanan ringan yang ingin sekali kumakan sebelum ke makanan berat. Wah... ada bakso, pikirku. aku langsung melangkahkan kakiku ke area meja kecil yang bertuliskan bakso.
Setelah mengantre cukup panjang, akhirnya aku mendapatkan semangkuk bakso di tanganku. Sambil berjalan aku menyuapi bakso ke dalam mulutku. Sambalnya kurang nendang nih, pikirku. Saat berjalan, aku tidak sengaja menabrak tubuh seseorang sehingga kuah dari mangkok bakso terciprat ke baju batik.
“Aduhh... Maaf mas, saya tidak sengaja,” ucapku melihat wajah yang kutabrak. Tanganku yang memegang tisu mencoba untuk membersihkannya. “sebentar ya mas, saya ambilkan tisu lagi,” tisu yang berada di tanganku sudah tak berbentuk.
“Tari,” ucap pria berbaju batik dengan badan yang tinggi.
Di saat melangkahkan kaki, pria itu sepertinya memanggil namaku sehingga aku memandang kembali wajah pria itu, “Hah?” dengan wajah tanda tanya.
“Kamu Tari kan?”
“Iya, siapa ya?” aku mengerutkan kedua alisku untuk mencoba mengingat siapa pria yang berada di depanku.
“Kamu enggak ingat saya?”
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengingat siapa pria di depanku walaupun aku berusaha menggali ingatan di dalam kepala tapi nihil.
“Saya Halim, kita pernah satu sekolah dasar di Jakarta.”
“Maaf ya, saya tidak ingat sama sekali,” ucapku dengan rasa bersalah, “Kamu masih ingat saja, padahal itu sudah lama sekali.”
“Kamu kenal dengan salah satu mempelai?”
“Iya, yang mempelai prianya adik sepupu saya. Kamu?”
“Waah... kebetulan banget ya, saya juga kenal sama Anton. Kami satu fakultas di kampus. Sekarang tinggal di Jogja?”
Aku teringat bahwa Anton baru saja lulus pascasarjana dan sudah menjadi dosen di universitas di Jogjakarta.
“Tidak, saya masih tinggal di Jakarta. Karena Anton menikah saja saya ada di sini. Kamu sendiri ke sini?”
“Enggak, saya sama teman,” Halim menunjukkan jarinya ke arah temannya yang sedang membuat lingkaran dan mengobrol.
Saat sedang melihat temannya Halim terdengar suara Ayah dari arah sampingku, “Tari.”
“Ya Ayah, ada apa?”
“Teman kamu, Tari?” tanya Ayah.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ayah, suara halim sudah mendahuluiku.
“Saya Halim Om, teman Tari sewaktu sekolah dasar,” Halim mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Ayah.
“Oh... kamu juga teman dari pengantin?”
“Iya Om, saya kenal sama Anton.”
“Wah... dunia ternyata kecil sekali ya. Ya sudah kalian lanjuti obrolan kalian. Tari, Ayah sama Om dan Tante kamu di sana,” Ayah menunjukkan jari ke arah meja yang di khususkan untuk keluarga pengantin.
“Iya, Yah.”
“Mari nak Halim.”
“Iya Om.”
Setelah kepergian Ayah, aku melihat teman-teman Halim menengok ke arah kami, “sepertinya mereka mencari kamu,” ucapku sambil menunjuk ke arah teman-teman Halim.
Halim memberikan tanda dengan jari tangannya untuk memberinya waktu kepada temannya. Dan aku melihat temannya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ke arah Halim.
“Mereka mau foto sama Anton. Saya minta nomor telepon kamu boleh?”
“Boleh kok, sebentar,” tanganku yang kosong membuka tas tangan.
“Kamu enggak ingat nomor telepon kamu?”
“Enggak,” jawabku sambil mencari HP di dalam tas tangan. Setelah mendapatkan apa yang aku cari. Sebelum mencari nomor telepon yang tidak aku hafal sama sekali suara Halim sudah mencegahku.
“Coba sini HP kamu.”
Tanpa rasa curiga sedikit pada halim, aku langsung menyerahkan HP ke tangannya. Sambil menunggu Halim mengetikkan nomornya dan melakukan misscall ke HP miliknya.
“Nih,” Halim mengembalikan HP ke arahku, ”nanti saya hubungi kamu ya.”
Setelah memberikan HP ku kembali, Halim berpamitan untuk kumpul bersama dengan teman-temannya yang sudah memberikan kodenya pada Halim untuk mengambil foto sama Anton. Aku berjalan dengan mangkuk kosong ke arah meja kecil untuk diletakkan.
Aku tidak terlalu di ambil pusing karena tidak mengingat Halim pada waktu sekolah dasar dulu. Karena setelah lulus, aku memang memilih sekolah yang dekat dengan rumah sehingga aku berpisah dengan teman-temanku semasa sekolah dasar. Pada saat ingin meletakkan mangkuk bakso, terlintas gambaran di mana seseorang menuliskan sesuatu di buku kecil milikku karena tahu aku tidak akan satu sekolah dengannya. Apa mungkin dia? pikirku.

***

Pernikahan Anton telah selesai, Ayah masih tinggal beberapa hari di Jogja sehabis itu akan pergi ke Pekalongan untuk mengunjungi rumah masa kecilnya. Aku juga sudah meminta ijin untuk tinggal lebih lama di sini karena aku ingin sekali mencicipi kuliner yang ada di sini dan Fauzan menawarkan dirinya untuk mengantarku ke mana saja yang aku inginkan selama di Jogja.
Semenjak pertemuanku dengan Halim di pernikahan Anton, kami selalu bertukar kabar. Halim sering mengajakku jalan, tapi aku selalu mengajak Fauzan untuk ikut menemaniku karena aku masih belum mengenal benar dengan Halim. Untungnya tanpa aku memberi penjelasan, Halim mengerti dengan kehadiran Fauzan di setiap kali kami pergi.
“Kamu belum pernah pacaran? Suka sama cowok?” tanyanya dengan muka tidak percaya setelah aku mengatakan belum pernah berpacaran sepanjang usiaku.
“Suka pernah, tapi pacaran enggak pernah,” jawabku seadanya, “Memangnya kenapa?”
“Enggak, ini pertama kalinya aku bertemu seperti kamu.”
“Ah... masa, ada kali yang seperti aku yang memang tidak berpacaran.”
“Benaran, cuman kamu. Lalu kenapa kamu tidak mencarinya?”
Aku menghela nafas sebentar sebelum menjawab pertanyaan Halim, “di umurku yang sekarang bukan lagi mainannya pacaran, tapi sudah harus mencari calon suami.”
“Lalu sudah dapat calon suaminya.”
Aku melirik sekilas ke arah Halim malas untuk menjawab pertanyaannya.
“Kenapa?” tanya Halim.
“Enggak, belum waktunya saja aku di pertemukan sama jodoh aku.” jawabku sambil tersenyum.
Setelah mendengarkan apa yang aku utarakan, Halim tidak lagi membahasnya. Aku tidak mau berharap terlalu banyak dengan keberadaan Halim di dalam hidupku. Dia sudah sangat baik mengajak aku berkeliling Jogjakarta dan mengantar ke tempat-tempat yang ingin sekali aku datangi. Di tambah lagi, belum tentu dia akan menerima kekurangan yang ada di dalam keluargaku dan di dalam diriku, aku takut melihat reaksinya setelah mengetahui bila ibuku sakit jiwa, dia akan menjauhiku.
“Lalu kamu sendiri kenapa masih sendiri?” tanyaku.
“Sama sepertimu, aku sedang mencari calon istri.”
Aku terkaget mendengarnya, “Oh... sudah dapat calonnya?”
“Sudah, tapi belum tahu apa dia mau atau tidak.”
“Loh... Kok begitu?” tanyaku dengan alis tertekuk heran, “kamu tidak mengutarakannya?”
Halim tersenyum, “Ini sudah aku utarakan.”
“Hah? Maksudnya?”
Halim tertawa melihat wajahku yang kebingungan, “Iya kamu, kamu mau? Tidak usah terburu-buru untuk menjawabnya.”
Aku terdiam, masih di liputi rasa kejut yang di berikan oleh Halim bahwa akulah gadis yang dimaksud untuk dijadikannya sebagai istri. Aku melihat wajah Halim yang masih memasang senyuman di sana dengan kedua bola matanya menatapku.
Pembicaraanku dengan Halim masih saja terbawa sampai di rumah Tante Asli. Apa benar dia jodohku yang selama ini aku minta pada Sang Khalik, pikirku. Perasaan ragu dan lega mengisi relung di hatiku. Aku teringat dengan pesan Ayah untuk selalu meminta petunjuk pada Sang Khalik jika aku sedang gelisah atau bingung untuk menentukan pilihan hidup.
Seperti malam-malam sebelumnya, Halim selalu menghubungiku untuk mengobrol. Tapi setelah mengetahui maksud dan tujuan Halim kepadaku membuat jantungku berdetak tidak karuan. Aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya kepada Halim tapi yang ada aku malah gugup.

Aku tidak bisa tidur semalaman masih memikirkan jawaban yang akan aku berikan pada Halim. Walaupun aku sudah meminta petunjuk pada Sang Khalik tapi masih belum menemukan jawabannya. Mungkin aku harus menceritakan kondisi keluargaku pada Halim dan melihat reaksinya, setelah itu aku bisa memberikan jawabannya.
“Tari, temanmu sudah datang itu di depan, lagi mengobrol sama Ayahmu,” Tante Asli memberitahuku.
“Pagi sekali dia datang, setahuku kita jalan agak siang,” ucapku sambil membantu memasak di dapur.
“Sudah temui dulu teman kamu, ajak sarapan di sini.”
Pisau yang berada di tanganku letakkan di samping talenan.
“Tari, buat minum dulu,” ucap Tante Ali yang menghentikanku untuk berjalan ke luar dapur.
Tante Ali membantuku membuat teh hangat untuk di bawa ke ruang tamu. Saat berjalan melewati ruang tengah, aku melihat Fauzan sudah bangun dan menaik turunkan kedua alisnya, menggodaku. Suara Ayah dan Halim hampir kedengaran di ruang tengah. Ngobroli apa sih, kok mereka seru banget, pikirku. Memasuki ruang tamu, aku melihat Ayah yang asyik sekali mengobrol dengan Halim di tambah Om Taufan ikutan nimbrung duduk di kursi tunggal.
Aku berjalan mendekat, “ini di minum dulu,” tanganku meletakkan cangkir teh di atas meja tamu.
“Karena Tari sudah datang saya tinggal dulu.”
“Iya Om.”
Ayah dan Om Taufan meninggalkanku berdua dengan Halim di ruang tamu. “Kok datangnya pagi, bukannya kita baru jalan siang ya?” tanyaku.
“Aku mau mengajak kamu sarapan di luar.”
“Duh... Tante Asli malah minta kamu sarapan di sini. Kamu enggak bilang sih semalam kalau mau sarapan di luar.”
Aku lihat Halim menggarukkan belakang kepalanya tanda bingung.
“Sarapan di sini saja dulu ya, baru besok sarapan di luar, bagaimana?” tanyaku.
“Ya sudah,” Halim menganggukkan kepalanya, “nanti jadi ke pantai?” tanyanya, melihatku.
“Jadi, kamu tahu pantai Wediombo? Aku lihat di internet pantainya bagus dan belum ada yang banyak tahu. Selain air lautnya yang jernih, aku lihat di foto yang air lautnya terkena batu besar jadi terlihat seperti air terjun jatuh ke kolam di balik batu besar,” terangku dengan bersemangat.
Halim mendengarkan dengan saksama tanpa memotong pembicaraanku.
“Terus, katanya—“ ucapku terhenti, “kok kamu memandangku begitu, di mukaku ada sesuatu ya?”
“Hah? Enggak ada apa-apa kok di mukamu,” Halim tersenyum. “Kamu enggak pernah cerita kalau ibumu sakit.”
“Dari mana kamu tahu soal itu?” tanyaku.
“Dari Ayahmu, beliau cerita banyak soal penyakit ibumu.”
“Aku hanya takut melihat reaksimu setelah mendengar kondisi ibuku,” aku menundukkan kepala. Aku tidak mendengar suara Halim, apa dia akan menjauhiku? Ya Allah bila memang dia jodohku dekatkan kami jika bukan jodohku jauhkan, pikirku.
“Tari,” panggilnya, “di saat aku mengutarakan keinginanku menjadikanmu sebagai calon istriku, aku sudah yakin bahwa kamu adalah jodohku yang telah disiapkan oleh Allah untukku. Aku akan menerima semua kekurangan keluargamu dan kekurangan yang ada pada kamu.”
Aku mengangkat kepalaku untuk memandang wajah Halim. Tidak bisa mengucapkan sepatah kata untuk di keluarkan dari mulutku, mendengar bahwa Halim yakin bahwa aku adalah jodohnya. Semua keraguan yang hinggap di hatiku dari kemarin sirna sudah. Tidak terasa air mata telah keluar dari kedua mataku, sambil menangkupkan kedua telapak tanganku di bawah mata untuk menghalau air mata untuk keluar lebih deras lagi.
“Kita hadapi bersama-sama ya,” ucap Halim dengan senyum hangat.



No comments:

Post a Comment

Follow Us @soratemplates