My Friend Farida
Karena pekerjaan Ayahku, kami sekeluarga harus pindah ke kota Birmingham, United Kingdom. Rumah dinas yang kami tinggali tidak sebesar rumah kami di Indonesia, cukup sederhana dan berdempetan dengan rumah tetangga kiri dan kanan. Aku bersyukur Ibu mendapatkan teman tetangga yang baik. Setiap Ibu keluar rumah mereka selalu mengobrol.
Sudah dua bulan sejak kepindahanku ke sini dan bersekolah di salah satu sekolah swasta di kota ini. Di sekolah baru, aku tidak memiliki banyak teman seperti di Indonesia karena kebanyakan dari mereka berteman secara berkelompok dan aku tidak menyukai itu. Kelompok yang paling terkenal di sekolah adalah kelompoknya Marien dan Thomas. Mungkin karena mereka berdua adalah anak gaul dan memiliki paras yang cantik dan tampan.
Mr. Charles, guru Sejarah memasuki ruang kelas. Membuat anak-anak yang tadinya berisik menjadi diam seketika.
“Morning! Everyone,” sapa Mr. Charles sambil meletakkan tas selempangnya dan buku di atas meja, “kalian akan mendapatkan teman baru hari ini, masuklah,” ucap Mr. Charles.
Aku yang duduk bangku tengah langsung menengok ke arah pintu, di sana masuklah seorang gadis berkerudung. Dengan mengenakan tas punggung, gadis itu memperkenalkan dirinya bernama Farida dan asal dia berada di depan kelas.
“Wah... Kita kedatangan teroris di kelas,” ucap Marien dengan lantang.
Semua yang berada di kelas langsung berisik. Ada yang berteriak untuk menyuruhnya pulang ke negaranya. Aku memandang tidak percaya apa yang mereka lakukan terhadap Farida.
“Cukup!” Mr. Charles memukul mejanya untuk membuat murid-muridnya berhenti bicara, “Marien nanti kamu ke ruangan saya,” ucap Mr. Charles dengan tegas, “Farida kamu silakan duduk di bangku yang kosong,”
Farida berjalan dengan diam ke arah belakang.
“Kate! Hati-hati sama teroris itu,” teriak Marien.
Aku melihat Kate memajukan bangku dan mejanya ke depan menjauhi meja Farida. Aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan melihat tingkah tidak bersahabatnya mereka terhadap Farida. Sangat kebalikan sekali dengan teman-temanku di Indonesia, mereka sangat senang dengan kedatangan murid baru.
Aku jadi teringat dengan pertama kalinya aku datang ke kelas ini, mereka akan menilaiku dari bawah ke atas layaknya juri apa menerimaku di kalangan mereka atau tidak. Tidak jarang mereka mendatangiku dengan wajah ramah tapi ujung-ujungnya hanya menggangguku. Beruntungnya mereka saat itu aku sedang berada di mood yang baik jadi aku menganggapnya seperti anak kecil yang merengek meminta sesuatu kepada ibunya.
Suara bel berakhir, pelajaran Mr. Charles berbunyi. Semua anak-anak dari kelas berbondong-bondong membereskan buku pelajaran mereka dan berebut keluar kelas. Begitu juga denganku yang ingin ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam. Saat ingin melangkah meninggalkan bangku, kedua mataku melihat beberapa pengikut Marien mengelilingi meja Farida.
“Astri!” panggil Berta.
Aku menengokkan kepalaku sebentar ke arah Berta yang sudah berdiri di dekan pintu keluar, “Iya, sebentar,” ucapku. Karena penasaran aku mengalihkan pandangan dari Berta ke arah meja Farida.
“Ayo Astri, jangan ikut campur dengan mereka,” Berta menarik lenganku keluar kelas, “sepertinya mereka akan melakukannya kembali,” ucap Berta sambil lalu.
“Apa yang akan mereka lakukan?” tanyaku.
“Kamu akan melihatnya sendiri nanti. Bagi mereka itu sudah seperti hiburan,” jelas Berta.
Berta adalah teman pertamaku semenjak pindah ke sekolah ini. Dengan wajah berparas Asia dan sebuah kacamata bulat bertengger di hidungnya. Ayah Berta merupakan penduduk asli sini yang menikah dengan Ibunya asal Jepang. Berta yang sudah lama tinggal di sini sering mengajakku jalan mengelilingi kota Birmingham, memberitahu tempat-tempat untuk hangout maupun untuk membeli barang-barang dengan harga yang murah.
“Kita makan di taman saja ya?” ajak Berta.
“Boleh, tapi kita ke kantin sebentar ya beli Sandwich.”
***
Di dalam perpustakaan, “Miss, aku mau mengembalikan ini,” tanganku menyerahkan sebuah buku tentang kebudayaan ke atas meja, “kamu mau ke mana?” tanyaku kepada Berta.
“Aku mau meminjam buku kalkulus,” ucap Berta dan meninggalkanku sendiri.
Beberapa menit kemudian, “ini kartu anggotanya,” ucap penjaga perpustakaan.
“Terima kasih Miss,” sambil tersenyum, tanganku mengambil kartu anggota yang sudah terletak di atas meja.
Aku membalikkan badan mencari keberadaan Berta yang belum terlihat. Daripada aku menunggu di depan meja terlalu lama, aku memutuskan mencari keberadaan Berta. Aku tidak menemukan Berta di setiap kali aku berjalan di tiap rak buku, sampai bagian paling belakang aku melihat punggung Berta sedang menghadap ke luar jendela.
“Berta, kamu lama sekali,” ucapku setelah mendekat, “apa yang sedang kamu lihat,” tubuhku berdiri di samping tubuhnya melihat beberapa anak-anak sedang melempar-lempar tas dari pemilik yang berkerudung.
“Mereka melakukannya lagi,” ucap Berta dengan pelan.
“Astaga,” aku melihat salah satu anak cowok mendorong tubuh berkerudung itu sampai jatuh ke tanah, “apa mereka selalu seperti itu?” tanyaku.
“Ya, kamu ingat perkataanku pada pertama kali kita berkenalan untuk tidak berurusan dengan mereka.”
Aku menganggukkan kepala.
“Beberapa ada yang sampai pindah sekolah karena mereka.”
“Kenapa mereka melakukan itu?”
“Mungkin untuk mereka sebagai hiburan atau mereka tidak menyukai pendatang baru, aku tidak tahu.”
Aku merasa heran dengan kelompok mereka, apa yang sedang di carinya dengan mengganggu Farida. Aku merasa kasihan dengan Farida di hari pertamanya sekolah sudah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
“Apa guru di sini tidak ada menegur mereka?”
“Sudah, pihak sekolah sampai memanggil kedua orang tua mereka ke sekolah tapi seperti yang kamu lihat sekarang. Mereka tidak peduli dengan teguran tersebut,” terang Berta, “ayo kita makan siang, keburu bel masuk kelas berbunyi,” ajak Berta.
Aku bergumam menandakan persetujuan Berta. Sebelum meninggalkan jendela kaca perpustakaan, kedua mataku masih mengamati apa yang di lakukan kelompok Marien terhadap Farida.
Kami berjalan di lorong sekolah menuju taman belakang sekolah, tempat biasa kami akan menyantap makan siang. Sambil berbicara tentang tugas yang di berikan oleh guru, tentang artis idola kami dan lain-lain. Tidak hanya kami yang berada di taman belakang sekolah, banyak murid-murid yang menghabiskan waktu jam makan siang di sana. Ada yang bermain lempar bola atau tempat untuk mengerjakan tugas kelompok selain di perpustakaan.
Saat sedang enak menyenderkan punggung ke belakang dan memandang langit biru, dari sudut mata aku melihat Farida berjalan sendirian dengan pakaian sedikit kotor. Mereka yang berada di taman belakang sekolah mulai berbisik-bisik tentang Farida. Aku menyapu sekeliling taman, sebagian mereka memandang kasihan, sebagian mereka tertawa kecil, sebagian mereka seperti menyuruhnya pindah ke tempat lain.
Karena tidak suka apa yang mereka perbuat, aku berjalan menghampiri Farida, “Assalamualaikum Farida, aku Astri bergabunglah denganku untuk makan siang di sana.”
“waalaikumsalam,” balas Farida dan mulai tersenyum menerima ajakanku.
Kami berjalan bersama ke tempat Berta berada. Mereka yang berada di taman mulai kembali berbisik-bisik tentang apa yang sudah kulakukan dan sapaan yang kugunakan. Dari sudut mataku, Farida merasa risi tapi aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
“Hiraukan mereka, nanti juga akan berhenti sendiri,” ucapku sambil berjalan.
“Salam itu... Apa kamu muslim?”
“Ya, aku dari Indonesia. Aku dan keluarga pindah ke sini karena pekerjaan Ayah.”
Kedatangan kami di bangku taman di sambut senyuman canggung yang di berikan berta kepada Farida. Aku langsung mendudukkan diriku di tengah bangku dan mempersilahkan Farida untuk duduk di sampingku.
Kepalaku tengokkan ke Berta, “kenapa senyummu seperti itu?” tanyaku pada Berta.
“Aku tidak mau terkena masalah dengan Marien dan pengikutnya.”
“Halah...,” dengusku, “Farida, perkenalkan ini Berta. Berta ini Farida,” kataku.
Sambil memakan makanan, aku melihat Berta sudah mulai terbiasa tidak seperti sebelumnya. Malahan Berta yang lebih banyak bertanya pada Farida. Kami mengetahui bahwa Farida pindah dari negara konflik, rumahnya sudah hancur terkena ledakan bom. Ayahnya memutuskan membawa seluruh keluarganya untuk pindah sementara ke negeri ini daripada bertahan di sana tapi nyawa yang menjadi taruhannya.
Aku yang masih mendengarkan cerita dari Farida, memerhatikan yang berada di taman seketika hening tidak berisik seperti tadi. Kutengokkan kepalaku ke arah pintu taman sekolah. Di sana, Marien beserta pengikutnya berjalan melewati pintu taman. Mataku mengikuti Marien berjalan mendekati kami. Suara Berta dan Farida mendadak berhenti setelah melihat Marien berdiri di depan kami.
“Well.... Well... ternyata ada kumpulan teroris,” ucap Marien.
Aku tidak menggubris apa yang di ucapkan Marien tapi dari sudut mataku, aku melihat Berta menundukkan kepalanya ke bawah dan tubuh tegang Farida.
“Hai Marien,” sapaku dengan ramah.
“Kamu jadi satu komplotan dengan dia,” ucap Marien sambil menunjuk ke arah Farida.
“Ada perlu apa?” ucapku tanpa terganggu dengan ucapannya. Aku merasakan lengan tanganku di pegang oleh Berta, “pergilah Berta, aku tidak apa-apa di sini,” ucapku pada Berta.
“Ehh... mau ke mana?” ucap salah satu pengikutnya menghalangi jalan Berta.
“Biarkan dia pergi, dia harus menelepon Ibunya untuk mencari kabar kerabatnya di rumah sakit,” bohongku.
Aku memandang Marien dengan senyum di wajahku untuk meyakinkan dia memang Berta harus pergi untuk menghubungi keluarganya. Setelah menunggu, Marien memberikan kode untuk melepaskan Berta pergi dari sini. Aku melihat Berta berjalan dengan cepat memasuki gedung sekolah dengan sesekali menengok ke belakang melihatku.
Dengan santainya aku menyenderkan punggungku ke belakang bangku, aku tahu bahwa aku dan Farida sudah di kelilingi oleh pengikut Marien. Tapi aku tidak akan takut dengan mereka. Sambil melihat ke arah Marien, aku berpikir dengan cepat bagaimana aku dan Farida bisa terlepas dari Marien.
Suara pekikan dari Farida membuatku menengok ke arah belakangnya, “Hei!” hardikku dengan wajah marah ke arah belakang Farida, “jadi ada apa?” ucapku ramah menengok ke wajah Marien.
“Aku ada perlu dengan teroris ini.”
“Dia punya nama Marien, namanya Farida bukan teroris,” ucapku ramah.
“teroris tetap teroris.”
“Hadeehh... cewek gendeng. Orang punya nama juga,” ucapku pelan dengan bahasa Indonesia sambil membuang muka ke samping.
“Apa?” ucap Marien dengan alis di tekuk, “apa yang kamu ucapkan?” tanya Marien.
“Kamu cantik,” ucapku asal.
“Aku tahu bukan itu, cepat katakan apa yang kamu ucapkan tadi,” desak Marien.
“Terserah,” ucapku santai, “aku masih ada perlu sama Farida, jadi nanti saja.”
“Aku but...”
“Ada apa ini?” ucap Thomas memotong ucapan Marien.
Di sana, Thomas telah berdiri di balik punggung Marien dengan beberapa sahabatnya yang memandang penasaran ke arah kami.
“Astri,” ucap Thomas sambil menerobos masuk ke dalam lingkaran.
“Woaahh... ada apa ini?” ucap salah satu sahabatnya.
“Thomas,” sapa Marien dengan suara senang, “Thom, aku ada perlu dengan teroris ini tapi dia menghalanginya,” adu Marien yang sudah berdiri di samping Thomas.
Aku bangkit dari duduk, “Marien namanya Farida bukan teroris,” ingatiku pada Marien sambil menggeleng-gelengkan kepala, “sepertinya otaknya sudah mengecil,” ucapku pada diriku sendiri dengan bahasa Indonesia.
“Heh! Apa yang sudah kamu ucapkan tadi,” bentak Marien.
“Nothing.”
“Enggak mungkin! Cepat katakan?”
“Kamu cantik,” ucapku asal.
Aku tahu Thomas dan teman-temannya sedang memerhatikan perdebatan kami. Karena aku sedang malas untuk berdebat dengan Marien, aku hanya menjawab asal apa yang dia pertanyakan dari apa yang kuucapkan. Di tambah lagi berada di tengah lingkaran yang di perhatikan banyak orang makin tambah malas meladeni tingkah Marien.
“Farida kita pergi dari sini,” ucapku sambil menengok ke arah Farida yang menundukkan kepalanya.
“Hah?” ucapnya kaget sambil menengok ke arahku.
“Ayo...”
Saat aku ingin menarik tangan Farida untuk mengikuti langkahku, suara Thomas menghentikanku.
“Tunggu sebentar,” Thomas mengangkat tangannya menghalangiku dan Farida untuk jalan.
“Ada apa, Thomas?” tanyaku.
“Tolong jelaskan ada apa?” tanya Thomas.
Aku menghela nafas pelan. Otakku berpikir apa harus menceritakan apa yang sudah di lakukan Marien pada Farida. Aku tidak begitu mengenal Thomas secara dekat, apa lagi jalan pikirannya setelah mendengarkan apa yang aku ceritakan. Tapi aku tidak boleh menilainya dari paras Thomas yang cakep itu, berdoa saja semoga jalan pemikiran Thomas sebanding dengan parasnya yang cakep.
“Aku kenalkan temanku Farida,” ucapku sambil menengok ke arah Farida, “seperti yang kamu dengar tadi, Marien memanggilnya apa. Sebelum ini, Marien dan teman-temannya sudah mengganggu temanku, Farida. Aku hanya heran dengan jalan pemikiran Marien yang sangat sempit itu. Hanya karena dia berhijab dan berwajah timur tengah lalu kalian mencap dia adalah teroris. Hanya karena orang yang mengebom negara kalian beragama Islam lalu kalian mencap dia adalah teroris. Farida bukanlah mereka yang kalian sebut teroris itu. Farida adalah Farida. Kalian harus mengenalnya lebih dekat sebelum kalian memberi label sebagai teroris atau tidak,” ucapku dengan nada tenang.
Aku melihat Thomas tidak bisa berkata apa-apa. Marien yang ingin membalas perkataanku di bungkam oleh tatapan galak dari Thomas.
“Thomas, tolong bilang pada temanmu itu,” tunjukku ke sebelahnya, “jangan pernah mengganggu Farida lagi. Atau dia akan berurusan denganku atau dengan guru sekalipun,” ucapku.
Sambil menggandeng tangan Farida, kami menerobos keluar dari lingkaran kelompok Marian den Thomas, tapi sebelum jauh aku berhenti dan membalikkan badannya ke belakang, “oh iya, yang perlu kalian tahu aku beragama yang sama dengan Farida dan aku di ajarkan untuk berbuat baik pada siapa pun walaupun dia seorang mantan teroris akan aku rangkul dengan tanganku.”
Kamu meneruskan berjalan, aku bisa mendengar ucapan protes yang di lakukan oleh Marien dan pengikutnya. Aku dan Farida melewati pintu taman untuk masuk ke gedung sekolah.
“Astri, terima kasih,” ucap Farida.
“Ya sama-sama, lebih baik kita masuk ke kelas sekarang,”
Dari jauh, Berta berjalan cepat ke arah kami dengan seorang guru di belakangnya. Mereka menghampiri kami, guru yang berada di belakangnya kepada kami berdua apa yang sudah terjadi. Aku menjelaskan apa yang sudah terjadi, tidak lupa mengatakan bahwa mereka masih berada di taman belakang sekolah bersama Thomas.
Setelah hari itu, Marien sudah tidak pernah lagi mengganggu kami. Entah apa yang di lakukan Thomas sampai Marien berhenti untuk mengganggu kami. Setiap kami berpapasan di koridor sekolah, Marien hanya melewati kami. Aku juga mendengar pada hari itu, Marien bersama dengan pengikutnya di bawa ke ruang kepala sekolah.
No comments:
Post a Comment