Thursday, January 31, 2019

# Short Stories

[ 2 ] Short Stories: My Beautiful Country


Sangat indahnya negeriku ini, tenteram, damai, dan bersahabat. Pemandangannya juga tidak kalah menakjubkan di bandingkan dari negara-negara lain. Penduduk di negeri ini sejak dahulu saling bahu membahu menolong yang sedang terkena musibah atau kesulitan. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur telah lahir di negeri ini. Ayah dan Ibu selalu mengajariku budaya yang harus kami jaga walaupun budaya luar kerap masuk ke dalam negeri ini.
Kami sekeluarga sering sekali bepergian ke luar kota mengunjungi kota-kota dan desa-desa lain di negeri ini. Dari sana, aku dan adikku mengenal budaya lain di kota yang kami kunjungi. Kami banyak sekali belajar tentang budaya, bahasa, dan tata krama yang  ada di sana, dari sana aku mengetahui bagaimana kayanya negeriku ini. Semenjak itu, aku selalu mempelajari seluruh budaya yang ada di negeriku.
Sampai pemilihan pemimpin negeri ini telah tiba, berbagai macam perbedaan pendapat dan cara pandang telah membentuk menjadi dua pihak di antara penduduk negeri ini untuk mendukung masing-masing calon pemimpin yang akan mereka pilih. Kedua calon pemimpin memiliki cara pandang yang sama untuk memajukan negeri ini tapi salah satu calon pemimpin memiliki maksud tertentu setelah menjadi pemimpin negeri ini.
Tanpa melihat akibat apa yang akan terjadi di masa depan, pendukung dari kedua pihak calon pemimpin melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dukungan dari penduduk negeri ini, baik dengan cara kotor maupun baik. Salah satunya dengan menyebarkan berita palsu ke seluruh penjuru negeri dengan melalui media sosial. Aku yang belum mengerti apa-apa yang kedua pihak itu lakukan hanya bisa menjadi penonton, sampai terbesit sejarah negeri ini terbentuk.
“Ayah, kenapa mereka harus berebut menjadi pemimpin negeri ini? Kenapa tidak mendiskusikan bersama dan membangun negeri ini bersama-sama seperti dulu,” tanyaku saat aku menonton perdebatan mereka di televisi.
“hmm... sayang, negeri ini sudah tidak sama seperti zaman kemerdekaan dulu. Dulu semua golongan saling bahu membahu untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah. Zaman sekarang, kita harus mempertahankan apa yang sudah di raih oleh pendahulu kita dan mewujudkan cita-cita yang terkubur, yaitu menjadi negeri yang sejahtera, damai, dan di segani oleh dunia. Untuk meraih itu tidaklah mudah, kamu sudah lihat bagaimana kayanya negeri ini. Banyak negara-negara lain ingin memiliki negeri ini walaupun itu dengan cara kotor yaitu menjadikan pemimpin negeri yang mereka pilih menjadi boneka dan memenuhi apa yang mereka inginkan dari negeri ini.”
“Kenapa negeri lain tidak membiarkan negeri ini memiliki apa yang kita punya, kenapa harus mengambil milik orang lain?”
“itulah manusia Nak, mereka serakah hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat penderitaan di sekelilingnya. Sama seperti negeri mereka, mengambil apa yang negeri ini punya untuk memenuhi kebutuhan penduduk di negerinya tanpa melihat bahwa negeri ini bisa saja sengsara,” terang ayah, “kamu masih kecil sudah berpikiran jauh saja.”
“Eits... jangan salah ayah, Ririn sudah 15 tahun.”
“Memangnya kamu mau jadi pemimpin negeri ini, Nak?”
“Kalau Allah mengizinkan, aku ingin memimpin negeri ini dan membangunnya menjadi sejahtera.”

***

Di depan perapian, aku teringat dengan perbincanganku dengan Ayah. Sayangnya sebelum itu semua terjadi negeriku sudah hancur karena ulah mereka. Setelah salah satu calon pemimpin terpilih menjadi pemimpin negeri ini, mereka dari pihak yang kalah tidak menerima atas kekalahan mereka. Sehingga dari pihak yang kalah menyusun rencana untuk menggulingkan dan mengambil paksa alih kepemimpinan negeri ini.
Dengan keegoisan dan arogansi, mereka seakan-akan menutup mata bahwa penduduk negeri ini sudah ikhlas dan dengan suka cita menyambut pemimpin baru negeri ini dan mendoakan pemimpin baru dapat membangun dan membawa negeri ini menjadi damai sejahtera.
Mereka yang kalah menggunakan cara-cara kotor yang tidak kami sukai sama sekali, tapi dari kebanyakan penduduk negeri kami malah termakan cara kotor dari mereka. Entah kenapa mereka yang kalah tidak mau ikhlas menerima kekalahan mereka tanpa harus mengganggu dan memecah belah kami. Padahal kekalahan mereka mungkin sudah takdir Allah untuk menjadi kalah.
“Kak, adek lapar?”
“Sabar ya dek, sebentar lagi ayah sama ibu pulang dengan membawa banyak makanan,” ucapku dengan nada lembut.
Aku memandang sendu ke arah adik terkecilku yang harus merasakan penderitaan ini. Aku memiliki sepasang adik, tapi adikku yang kedua telah tiada setelah perpecahan itu terjadi. Saat itu, kami sedang terkena musibah, tempat Ayah bekerja mengalami kebangkrutan dan pemutusan kontrak kerja untuk menjaga perusahaan tetap beroperasi. Ayah menjadi salah satu pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan tempat Ayah bekerja, padahal Ayah sudah bekerja dan menggeluti di bidangnya selama bertahun-tahun.
Saat itu adikku, Lisa, sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah. Ibu yang saat itu sedang mengandung adikku memiliki firasat buruk dan menyuruhku untuk mencari Lisa. Aku yang tidak menggubris kecemasan Ibu menganggapnya angin lalu, aku hanya memintanya untuk menelepon ponselnya untuk mengurangi rasa cemasnya. Tapi berkali-kali Ibu menelepon ponsel Lisa tidak ada yang mengangkatnya.
Saat itu juga aku langsung pergi mencari Lisa setelah Ibu berkata ponsel Lisa tidak di angkat dan memintaku untuk mencarinya. Di perjalanan yang biasa Lisa lewati setiap berangkat maupun pulang, di jalan itu banyak orang-orang yang sedang saling teriak mencaci maki dari mereka yang kalah dan mereka yang menang. Sampai entah di mana, orang-orang yang mendukung mereka melakukan adu jotos. Di antara mereka yang tidak menerima mulai mengambil benda-benda yang berada di sekitar mereka untuk membalas apa yang sudah mereka lakukan terhadap teman mereka.
Aku melihat Lisa yang berdiri tidak jauh dari sana sangat ketakutan sekali apa yang di lihatnya di depan matanya. Dengan cepat aku berlari menghampirinya, tapi saat sudah dekat dengannya aku melihat sebuah benda panjang menghantam cukup keras tubuh mungilnya. Dengan keadaan terkejut apa yang terjadi di depan mataku, aku menghampiri tubuh mungil adikku dalam keadaan tidak sadarkan diri di jalan.
Berkali-kali aku berteriak meminta tolong, tapi apa yang aku dapatkan, mereka tidak menggubris teriakanku dan mereka hanya terus saja melakukan aksi kekerasan untuk membalaskan perbuatan mereka satu sama lain. Dengan ketakutan dan kepanikan di dalam diriku, aku berusaha menggendong tubuh adikku menjauh dari sana dan membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku malah mendapatkan kabar lebih buruk, Lisa dinyatakan telah meninggal oleh dokter yang berada di unit gawar darurat. Dengan umur Lisa yang masih muda membuat saraf terpenting di bagian punggung terkoyak.
“Kak, kok bengong,” ucap Ayah.
Aku tersadar setelah merasakan sentuhan jari tangan Ayah di pundak.
“Kamu kenapa? Di panggil berkali-kali malah bengong.”
“Ke ingat dulu Yah,” ucapku setelah tersadar sepenuhnya, “Ibu mana?”
“Sudah jangan di ingat lagi apa yang sudah terjadi, itu semua sudah kehendak Allah kalau Lisa tidak bisa bersama kita sekarang. Ibu di dapur bersama Roni, sana kamu juga bantu Ibumu.”
Aku menganggukkan kepala lalu bangkit berdiri.
“Ririn, jangan dendam terhadap mereka,” ucap Ayah saat aku akan berjalan ke arah dapur.
“Iya Yah,” ucapku dan melanjutkan berjalan ke dapur untuk membantu Ibu.
Aku masih bingung apa yang akan Ayah lakukan sekarang dengan kondisi negara yang sudah hancur, perang saudara ini telah menghancurkan segalanya. Bangunan-bangunan yang dulunya berdiri kokoh telah hancur, keceriaan di wajah setiap anak-anak yang senang bermain sudah sirna, kelaparan di sana-sini.
Setelah pernyataan perang dari kedua kubu, Ayah membawa kami keluar dari kota dan mengharapkan desa tempat tinggal nenek tidak berimbas dari keegoisan mereka tapi setelah sampai di desa tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kota. Sehingga Ayah dan Ibu mengambil keputusan untuk membawa kami tinggal di pedalaman hutan dekat dengan perbatasan negara.
Ayah membangun sebuah gubuk kecil dari bahan-bahan yang di dapat di dalam hutan. Setiap malam tiba, kami akan saling berdekatan di depan perapian yang Ayah untuk menghalau dinginnya malam. Makanan yang kami dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, tak terkadang juga Ayah dan Ibu akan pergi ke desa maupun ke kota untuk menambah suplai penyimpanan makanan kami dan juga mencari informasi kondisi sekarang.
“Ibu, hari ini kita makan apa?” tanyaku setelah sampai di dapur.
“Hari ini kita makan sama seperti kemarin, Ayah dan Ibu tidak banyak membawa suplai makanan untuk kita.”
“Ibu aku tidak mau makanan itu, tidak ada rasanya sama sekali,” Rengek Roni.
“Sabar ya Nak, nanti ibu akan bikin kan kamu makanan yang enak buat kamu,” ucap ibu dengan lembut.
“Dari dulu ibu selalu mengucapkan itu melulu, di suruh sabar, nanti Ibu akan memasakkan makanan enak, KAPAN BU?” ucap Roni dengan nada kesal.
“RONI! jangan seperti itu sama Ibu,” bentakku.
Sambil menangis, Roni berlari pergi dari dapur. Aku yang ingin mengejar Roni untuk menjelaskan kondisi yang sedang di hadapi.
“Ririn biarkan Ayahmu yang menenangkan Roni,” Ibu mencegahku, “kamu bantu Ibu memasak ya.”
“Baik Bu.”
“Rin, apa Ayah sudah memberitahumu?” tanya Ibu.
“Belum Bu, memang Ayah mau memberitahu tentang apa.”
“Hmmm... biar Ayahmu yang akan menjelaskannya.”
Aku ke pikiran apa yang akan disampaikan Ayah pada kami, aku berharap yang di sampaikan Ayah merupakan kabar baik bagi kita semua. Aku sudah jenuh dengan keadaan sekarang yang terus saja semakin memburuk. Terakhir yang aku dengar dari Ayah, banyak penduduk negeri ini memilih pindah ke negara lain dari pada tinggal di sini yang tidak memiliki harapan sama sekali.
Setiap jam, setiap menit, aku selalu berdoa pada Maha Pencipta Alam Semesta untuk menyadarkan mereka semua bahwa negeri yang seharusnya di bangun bersama-sama telah hancur karena keegoisan dan keambisiusan mereka yang mementingkan apa yang mereka maui bukan apa yang penduduk negeri ini inginkan, kedamaian.
“Rin, coba kamu lihat Ayahmu dan Roni sedang apa dan bilang makanannya sudah siap,” ucap Ibu yang sedang mengangkat panci kecil dan membawanya ke tempat biasa kami makan secara lesehan.
Setelah aku meletakkan piring dan sendok, aku meninggalkan Ibu sendiri di dapur. Aku mendengar Ayah sedang menjelaskan kondisi negara kami sekarang dan meminta Roni untuk meminta maaf pada Ibu.
“Ayah, kata Ibu makanannya sudah siap,” ucapku.
“Ayo kita makan,” ajak Ayah lalu berjalan meninggalkan kami berdua.
“Kak,” panggil Roni.
“Kenapa dek?”
“Maafin Roni ya Kak,” ucapnya di sampingku.
“Iya, kamu juga harus minta maaf sama Ibu.”
“Iya Kak.”
Lalu kami berdua berjalan ke arah dapur, di sana Ayah dan Ibu sudah duduk di bawah menunggu kami untuk makan bersama. Aku duduk di samping Ayah sedangkan Roni duduk di samping Ibu. Tanpa mengeluh, aku menyendokkan sup ke dalam mulut, makanan inilah yang selama bertahun-tahun masuk ke dalam perutku setelah perang saudara pecah di negeri ini terjadi. Terkadang aku harus menahan lapar untuk mengalah pada Roni yang masih masa pertumbuhan.
“Anak-anak, Ayah sama Ibu berpikiran, kita harus mengungsi dari negeri ini. Kita tidak tahu kapan perang ini akan selesai. Ayah juga sudah mendapatkan negara yang akan menerima kita sebagai pengungsi,” jelas Ayah setelah semua selesai makan.
Seketika otakku tidak dapat berpikir setelah mendengar perkataan Ayah. Meninggalkan tempat kelahiranku, rumahku, dan cita-citaku di sini, “Ayah, apa tidak ada jalan lain selain meninggalkan negeri ini? Ririn tidak mau pergi dari sini, ini tempat kelahiranku.”
“Tidak ada sayang, Ayahmu juga sama sepertimu tidak mau meninggalkan negeri ini, tapi kamu dan Rino membutuhkan tempat yang aman,” jelas Ibu, “Kita pindah untuk sementara, setelah peperangan di sini sudah berhenti, kita kembali lagi ke sini,” Ibu mengusap puncak kepala Rino dengan sayang.
“Tapi Bu
“Ririn,” potong Ayah, “Ayah mendapatkan kabar dari teman, perang ini belum berakhir Nak. Ayah menginginkan kamu melihat dunia yang lebih luas lagi dan setelah peperangan di sini berakhir, kamu bisa membantu mereka untuk membangun negeri ini kembali dari bawah,” terang Ayah.
Aku tidak bisa berkata-kata apa yang sudah Ayah ucapkan pada kami semua selesai makan. Ayah mengatakan seminggu dari sekarang kita semua akan berjalan ke pintu perbatasan yang tidak jauh dari gubuk kami. Ayah telah mengurus semuanya apa yang kami perlukan di saat perbatasan.
Menjelang keberangkatan kami semua, rasa sedih mulai terasa di relung hatiku. Aku tidak menyangka akan meninggalkan tempat kelahiranku, banyaknya kenangan sedih dan bahagia di sini. Aku bisa saja tetap tinggal di sini, tapi dengan umurku yang akan beranjak dewasa dan kehidupanku yang masih panjang untuk melihat luasnya dunia untuk  meraih cita-citaku. Aku pastikan akan kembali lagi ke negeriku ini, tempat kelahiran dan kenangan-kenangan bahagia yang berada di sini.


No comments:

Post a Comment

Follow Us @soratemplates